Minggu, 29 Desember 2013

Pengangguran Terdidik (Sarjana)

BAB 1
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah (Pengangguran Terdidik)
Buat apa sekolah tinggi-tinggi jika setelah wisuda sulit mendapatkan pekerjaan. Ungkapan tersebut memang sudah tidak asing lagi di telinga kita atau bahkan kita termasuk ke dalam orang yang beropini tersebut. Sehingga memilih melanjutkan kuliah sekedar mendapatkan status mahasiswa, karena takut disebut pengangguran. Media massa cetak maupun elektronik sering sekali memberitakan tentang pengangguran terdidik dari lulusan perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan.
Angka penganguran terdidik mencapai 41, 81% dari total angka pengangguran nasional yang telah mencapai 9 juta orang. Jumlah pengangguran terdidik terbanyak adalah lulusan perguruan tinggi yaitu 12,78%. Posisi berikutnya disusul lulusan SMA 11,9%, SMK 11,87%, SMP 7,45%, dan lulusan SD 3,81%. (Repubika.co.id 12/09/2012).
Anggapannya, pasti banyaknya pengangguran terdidik di Indonesia disebabkan kurangnya jumlah lapangan pekerjaan, tingginya kuantitas permintaan ternaga kerja, tapi tak sebanding dengan penawarannya. Namun, lebih dari itu disebabkan kurangnya kompetensi dan keterampilan lulusan. Perguran tinggi tidak hanya berkewajiban menuntut mahasiswa lulus dengan predikat cumlaude, tetapi mendidik mahasiswa bagaimana mempunyai skill untuk mengenal dan memasuki dunia kerja. Perguruan tinggi bertugas tidak hanya untuk mengembangkan hard skill mahasiswa tetapi memperkuat soft skill yang diperlukan untuk bersaing di dunia kerja.
Untuk dapat bersaing dalam dunia kerja, lulusan perguruan tinggi perlu memiliki kapasitas  daya saing. Diantara kapasitas daya saing yang perlu dimiliki untuk bekerja adalah keterampilan menghadapi proses rekrutmen dan seleksi kerja. Dengan keterampilan menghadapi proses rekrutmen dan seleksi kerja, individu akan memiliki pemahaman yang jelas tentang dunia kerja yang menyangkut persyaratan, kondisi kerja, kompensasi,  peluang dan prospek kerja untuk dapat diterima bekerja dalam lembaga atau instansi tertentu.

B.   Rumusan Masalah
1.      Mengapa ada pengangguran terdidik ?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan adanya pengangguran terdidik ?
3.      Solusi apa yang bisa digunakan untuk mengurangi atau memberantas pengangguran terdidik ?

C.   Tujuan Penulisan
1.      Mendeskripsikan kepada pembaca tentang pengangguran terdidik.
2.      Menumbuhkan semangat jiwa berwirusaha kepada mahasiswa.




  
Bab II
Pembahasan

A.   Penyebab Pengangguran Terdidik di Indonesia
Perguruan tinggi di Indonesia, mencetak ribuan bahkan jutaan sarjana setiap tahunnya. Namun, lapangan pekerjaan tidak mampu menampung semua lulusan tersebut, sehingga sebagian besar lulusan itu pun menganggur. Pengangguran terdidik telah memperburuk citra pendidikan di Indonesia. Bagaimana tidak, mereka yang jelas-jelas lebih banyak memiliki ilmu pengetahuan dibandingkan mereka yang tidak berpendidikan, tetapi mereka sendiri menganggur. Ini tandanya para lulusan sarjana tidak mampu menjawab tantangan perkembangan zaman.
Lebih lagi tinggal menghitung hari kerja sama negara-negara ASEAN melalui AEC (ASEAN Economic Community) akan segera terlaksana tahun 2015 mendatang. Ini artinya tantangan lulusan sarjana semakin berat jika tidak benar-benar ia persiapkan. Bagaimana tidak, selain liberalisasi perdagangan atau FTA (Free Trade Area), kebebasan tenaga kerja (labor) memasuki Indonesia juga akan menjadi pesaing lulusan sarjana Indonesia. Pesaing lulusan sarjana bukan lagi orang Indonesia, melainkan negara-negara tetangga Indonesia yang termasuk di dalam negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Fillipina, Myanmar, dan lain-lain.

B.   Faktor-Faktor Penyebab Pengangguran Terdidik di Indonesia
1.     Ketergantungan kepada Orangtua
Potret generasi muda sekarang yaitu terlalu manja dan menggantungakan hidupnya pada orangtua dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, mereka layaknya mempunyai jaminan untuk mencukupi segala kebutuhannya, dan menganggap meskipun tidak bekerja mereka akan tetap tercukupi segala kebutuhannya. Para penganggur terdidik biasanya terjadi pada lapisan masyarakat menengah ke atas.  Inilah yang menyebabkan pengangguran terdidik merajalela. Bahkan Indonesia mendapatkan ranking pertama di Asia untuk jumlah pengangguran tertinggi.
Pengangguran terdidik sangat berkaitan erat dangan kependidikan di negara berkembang pada umumnya. Masalah pendidikan biasanya berkisar pada mutu pendidikan yang hanya menekankan seorang sarjana  yang bermental akademik, kesiapan tenaga pendidik, fasilitas pendukung pendidikan, dan kurangnya lapangan pekerjaan yang akan berimbas pada eksistensi pendidikan dimata masyarakat. Pada masyarakat yang mulai berkembang, pendidikan diposisikan sebagai sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui kesempatan kerja yang ada. Dalam arti lain, tujuan akhir program pendidikan pengguna jasa pendidikan adalah teraihnya pekerjaan yang diharapkan. Atau setidak-tidaknya, setelah lulus dapat bekerja di sektor formal yang memiliki nilai “gengsi” yang lebih tinggi dibanding sektor informal.

2.     Tekanan dari Masyarakat
Masyarakat sendiri sebenarnya mempunyai kontribusi dosa terkait penumpukan pengangguran terdidik ini. Sebab, masyarakat terlalu banyak menghargai jenis pekerjaan tertentu seperti pegawai negeri sipil atau pegawai swasta. Anggapan ini pun menyebabakan membengkaknya calon pegawai negeri di Indonesia. Inilah kesalahannya, sebenarnya gelar sarjana tidak secara otomatis meluluskan jalan untuk meraih pekerjaan.

3.     Jurusan-Jurusan Ilmu Terapan
Dewasa ini, bangku perkuliahan dijadikan ajang pemikiran pragmatis, mengapa begitu ? Karena banyak jurusan-jurusan di dalam perguruan tinggi yang mengajarkan ilmu-ilmu terapan, yang ujung-ujungnya adalah menjadi pekerja. Mirisnya lagi, jurusan-jurusan tersebut pasti lebih banyak peminatnya daripada jurusan-jurusan yang mengajarkan kita untuk berpikir analitis atau masih abstrak. Seperti contoh jurusan Akuntansi di Fakultas Ekonomi, pasti lebih banyak peminatnya daripada jurusan Ilmu Ekonomi, mengapa ? Karena mereka beranggapan bahwasannya jurusan Akuntansi akan jauh lebih mudah mencari pekerjaan, dan profesi mereka jelas seperti bekerja di perpajakan, menjadi Akuntan, dan lain lain. Mereka menganggap jurusan Ilmu Ekonomi sulit untuk mencari pekerjaan, karena jurusan tersebut kurang spesifik, abstrak, dan jika tidak melanjutkan studi pasti kabanyakan akan menganggur. Kerap kali lulusan sarjana Ilmu Ekonomi dianggap sebagai calon-calon pengangguran.
Sebenarnya faktor utama yang menyebabkan rendah atau tingginya kualitas lulusan itu tergantung pada pola pikir mahasiswa itu sendiri.  Ada sebagian orang memiliki gelar sarjananya saja tanpa ilmu. Biasanya gelar ini didapatkan dengan cara membeli ijazah secara illegal di perguruan tinggi yang sengaja menjual produk terlarang ini demi mendapatkan uang. Semuanya demi uang, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap negara ini. Gelar akademik itu layaknya sebuah produk yang mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau. Hanya bermodal beberapa juta rupiah saja sudah bisa memiliki gelar sarjana.
Perguruan tinggi yang menjual gelar akademik merupakan salah satu penyebab rusaknya citra pendidikan di Indonesia. Banyak orang yang mempunyai gelar sarjana hanya sebagai gengsi untuk menduduki posisi jabatan tertentu. Padahal, orang tersebut tidak memiliki pengetahuan dibidangnya, sehingga menjadikan sumber daya manusia di Indonesia sangat buruk. Zaman sekarang siapa yang memiliki banyak uang dialah yang berkuasa dan termasuk membeli hukum dan ijazah illegal.
Negara kita telah dijajah oleh bangsanya sendiri, seperti iklan di televisi “jeruk kok makan jeruk”. Ini telah dibuktikan oleh kasus-kasus yang telah terjadi selama beberapa tahun yang terakhir. Korupsi merupakan salah satu dari banyak peristiwa yang melanda negeri ini. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tapi aparat hukum yang seharusnya melaksanakan dan menegakkan hukum untuk keadilan negeri ini malah terlibat dalam kasus yang semakin menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sekarang coba kita lihat rakyat miskin yang seharusnya mendapatkan perhatian oleh pemerintah, menjadi terabaikan karena pemerintah terlalu sibuk mengusut tuntas kasus-kasus korupsi. Bagaimana caranya agar bangsa ini menjadi lebih maju terutama di sektor perekonomiannya agar ada pemerataan, bukan hanya mengejar berapa persen meningkatnya pertumbuhan ekonomi.
Sebenarnya orang-orang ekonomilah yang berperan penting dalam membantu pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dan memberantas kemiskinan. Dengan begitu maka otomatis pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Dan mahasiswa ekonomi bukanlah sebagai calon pengangguran tetapi lebih tepatnya adalah sebagai alat untuk menyerap dan mengkompres angka pengangguran yang membengkak tiap tahunnya. Sebagai orang yang mengerti permasalahan-permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi bangsa ini, kita seharusnya berpikir bagaimana cara agar pengangguran bisa dihapuskan. Tapi sayangnya lulusan-lulusan ekonomi atau jurusan lain di perguruan tinggi di Indonesia sekarang hanya mengharapakan dipekerjakan oleh orang lain.

C.   Solusi Untuk Mengurangi Pengangguran Terdidik di Indonesia
 Jika semua orang ingin bekerja, tapi tak ada lapangan pekerjaan apa yang harus kita lakukan ? Ada dua jawaban untuk menjawab pertanyaan diatas. Jawaban pertama untuk pertanyaan diatas adalah wirausaha. Ya, wirausaha memang solusi tepat untuk mengurangi bahkan memberantas pengangguran terdidik Karena dengan wirausaha lapangan kerja baru akan tercapai dan mengurangi tingkat pengangguran. Jumlah wirausaha di Indonesia masih sangat kurang, yaitu kurang dari 2% atau sekitar 700 ribu orang. Padahal idealnya sebuah Negara paling tidak memiliki 2% jumlah wirausaha. Para lulusan sarjana harusnya mempunyai semangat untuk berwirausaha. Setidaknya lulusan sarjana bisa mengubah cara berpikir mereka untuk tidak bekerja, tapi mempekerjakan orang.
Jawaban kedua untuk mengurangi pengangguran terdidik adalah membenahi dari sistem pendidikan. Sudah jelas bahwa dunia pendidikan harus dapat menghasilkan output lulusan yang siap diserap oleh pasar kerja. Artinya, pendidikan yang berkualitas yang berorientasi pada pasar kerja yang mutlak. Yang dapat diperbaiki adalah mewujudkan pendidikan yang berbasis pada pasar kerja. Proses selama ini dunia pendidikan lebih berfokus untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Namun kualitas dan karakteristik seperti apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja ? Oleh Karena itu, labor market oriented, saat ini lebih tepat untuk menjawab kebutuhan pasar kerja akan tenaga kerja berkualitas, dan akhirnya akan mengurangi pengangguran terdidik.

  
BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan
Sistem pendidikan di Indonesia harus dibenahi. Mutu pendidikan yang hanya menekankan seorang sarjana  yang bermental akademik, kurangnya kesiapan tenaga pendidik, dan fasilitas pendukung pendidikan harus segera di benahi agar pengangguran terdidik tidak semakin merajalela.
Tujuan akhir program pendidikan pengguna jasa pendidikan adalah teraihnya pekerjaan yang diimpikan yakni bekerja di sektor formal, yang memiliki tingkat “gengsi” yang tinggi daripada sektor informal. Sehingga mengakibatkan membengkaknya calon pegawai negeri di Indonesia.

B.   Saran
          Pemerintah seharusnya memperhatikan masalah pengangguran terdidik di Indonesia. Dengan merubah sistem pendidikan tidak hanya mencetak sarjana-sarjana akademik, tapi tak mempunyai keterampilan. Seharusnya sistem pendidikan di Indonesia khususnya program S1 dibuat seperti program Diploma, yang lebih banyak praktik dibanding teori.
Sebagai mahasiswa seharusnya kita merubah pola pikir tujuan akhir kuliah tidak hanya untuk dipekerjakan orang lain, tapi mempekerjakan dan menciptakan lapangan kerja baru.
Masyarakat harusnya memberi kesempatan kepada lulusan sarjana untuk membuktikan dirinya kreatif dan bisa menciptakan lapangan kerja baru, dan tidak membedakan status/jabatan seseorang dalam pekerjaaan.

Jumat, 27 Desember 2013

Koruptor ! Kaya Intelektual, Miskin Akhlak

Sudah tidak asing lagi, setiap harinya berita tentang kasus-kasus korupsi di Indonesia selalu menghiasi layar kaca maupun media massa. Bak jamur di musim hujan, kasus-kasus korupsi di Indonesia setiap harinya selalu bermunculan seperti tak ada akhirnya. Mau sampai kapan sebenarya korupsi di Indonesia ? Apakah korupsi di Indonesia sama halnya seperti resiko yang tak bisa dihilangkan, tetapi hanya bisa diminimalisir ? Ataukah benar, korupsi di Indonesia telah menjadi budaya baru ? Sebenarnya siapa yang harus disalahkan ? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Anggapan seseorang tentang korupsi mungkin hanya sebatas para pejabat yang mencuri uang Negara. Karena salah persepsi tersebut, ketika seseorang tersebut tidak tertib lalu lintas, membolos di jam kerja tanpa alasan yang jelas mereka menganggap perbuatan tersebut wajar. Memang sepertinya korupsi di Indonesia hampir dilakukan oleh semua masyarakat Indonesia dan wajar pula jika dikatakan korupsi di Indonesia sudah membudaya. Indonesia seharusnya mencontoh negara-negara seperti Jepang, Singapura, dan lain sebagainya. Yang masyarakat maupun jajaran birokratnya sadar terhadap dirinya masing-masing, dan bisa kita lihat, betapa tertibnya lalu lintas di Negara tersebut.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa orang yang melakukan korupsi baik masyarakat ataupun pejabat pemerintah tidak merasa takut untuk melakukan korupsi ? Apakah mereka sudah tidak takut lagi dengan hukuman atas perbuatannya ? Apakah mereka tidak sadar di punggung kanan dan kirinya ada yang mengawasi ? Dan apakah mereka tidak sadar penciptanya yaitu Allah SWT tidak pernah tidur ?

Indonesia yang memiliki penduduk muslim kurang lebih 90% dari total jumlah pendudukya, seharusnya malu dengan negara barat yang mayoritas berpenduduk non muslim, tetapi tingkat korupsinya lebih kecil dibandingkan Indonesia. Keislaman penduduk di Indonesia dipertanyakan. Pejabat yang melakukan korupsi idealnya juga beragama Islam. Saya pikir, Islam tanpa akhlak ya percuma. Jika para pejabat khusunya bisa berpikir dan bisa mengemban amanah dari rakyatnya, saya yakin tingkat korupsi di Indonesia akan berkurang. Jika kita lihat, gelar akademik di depan dan di belakang nama mereka sangat luar biasa, tapi bagaimana perbuatannya ? 

Saya pernah ditanya seorang bapak tua, apakah persamaan polisi dan pejabat nak ? Saya pun bingung mau menjawab apa. Dan bapak tersebut menjawab, seorang polisi wajar meminta uang lebih ketika ia melakukan operasi di jalan raya, karena mereka kurang dalam hal intelektual, idealnya mereka hanya lulusan sekolah menengah atas. Seorang pejabat Negara, kaya dengan intelektual, tapi juga mudah memperkaya dirinya sendiri dengan mencuri uang rakyat. Saya pun terdiam mendengar jawaban bapak tua tersebut.

Pendidikan seharusnya menjadi wadah yang bisa membawa ke arah akhlak yang lebih baik. Tapi kenyataannya, apakah memang demikian ? Lalu, apakah ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia ? Saya mengatakan ya. Sistem pendidikan di Indonesia lebih berfokus menghasilkan manusia-manusia yang ahli dalam ilmu pengettahuan saja. Tapi, kurang memperhatikan nilai-nilai moral (agama) dalam sistem pendidikannya. Sekolah ataupun perguruan tinggi di Indonesia, minim dalam mata pelajaran ataupun mata kuliah moral (keagamaan). Kecuali sekolah atau perguruan tinggi dengan background keagamaan. Idealnya mata kuliah ataupun mata pelajaran keagamaan hanya dijadikan pelengkap dan hanya dijadikan mata pelajaran yang dipelajari saja tanpa berusaha membuat siswa ataupun mahasiswa mengaplikasikan mata pelajaran tersebut di dalam kehidupannya sehari-hari. Acuan ketuntasan mata pelajaran agama tersebut hanya didasarkan pada nilai ujian, tanpa melihat akhlak siswanya. Kalau pun ada penilaian tentang perilaku, dinilai tersendiri, bukan dijadikan aspek kelulusan mata pelajaran. Seharusnya pemerintah membuat peraturan tentang sekolah ataupun perguruan tinggi di Indonesia, dengan menambah kapasitas dalam pengajaran moralitas dan mengubah sistem penilaian tidak hanya didasarkan pada nilai ujian semata, tetapi dilihat dari perilaku siswa tersebut. 

Dengan mengubah sistem pendidikan tersebut, seharusnya dapat mengurangi jumlah angka korupsi di indonesia. Karena pendidikan merupakan pondasi untuk menciptakan seseorang yang berkualitas. Jika pendidikan di Indonesia masih dikatakan buruk, orang-orang yang di cetak dalam pendidikan tersebut tentunya juga kurang berkualitas. Jika sistem pendidikan dimaksimalkan nilai-nilai moralitasnya, tentunya orang-orang yang tercetak dari pendidikan tersebut tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan saja, melainkan mempunyai akhlak yang unggul pula, maka ketika terjun di dunia kerja dapat bekerja dengan ilmu pengetahuannya dan memiliki akhlaqul qarimah, sehingga tidak mudah melakukan hal-hal yang negatif khususnya korupsi.

Demikian tulisan awalku, semoga bermanfaat..
Karena manusia tak ada yang sempurna, maka mohon maaf jika ada kesalahan, baik penulisan kata dan lain-lain..

Muhammad Anif Afandi
Financial Economic and Islamic Banking
Muhammadiyah University Of Yogyakarta